Pages

Friday, February 20, 2015

Transformers: Revenge of the Fallen

Semester tiga kemarin, aku sudah selesai memainkan Transformers: Revenge of the Fallen. Butuh beberapa bulan untuk menyelesaikannya. Kalau menurut aku, tingkat kesulitan permainan ini adalah medium. Permainan ini diatur supaya tingkat kesulitannya naik secara bertahap. Artinya, pertarungan di bagian awal sangat mudah, dan di akhir menjadi cukup sulit.

Di awal permainan, aku bisa memilih di antara dua fraksi, antara Autobot atau Decepticon. Untuk pemula, aku menyarankan Autobot karena lebih mudah. Setelah memilih fraksi, aku bisa memilih zona pertarungan. Lain zona, lain pula misinya. Bahkan ada dua misi yang berbeda dalam zona yang sama. Zona yang tersedia adalah Shanghai, West Coast, East Coast, Deep-6, dan Cairo.

Setelah memilih zona dan misi, aku bisa memilih karakter yang tersedia. Tapi karakter yang paling aku suka adalah Optimus Prime, karena dia punya special ability paling keren, yaitu Valiant Leader. Karakter Autobot yang bisa dimainkan: Optimus, Bumblebee, Ironhide, Ratchet, dan Breakaway. Sedangkan karakter Decepticon yang bisa dimainkan: Megatron, Starscream, Grindor, Long Haul, dan Sideways.

Terdapat menu Team Upgrades. Menu tersebut berguna untuk meningkatkan kemampuan sehingga dapat mengimbangi tingkat kesulitannya. Menu View Unlockables berisi item yang akan bisa diakses apabila persyaratannya terpenuhi.

Di bagian akhir dari fraksi Autobot: Jetfire yang sudah sekarat meminjami sayap dan komponen lain kepada Optimus untuk mengalahkan Fallen.
Di bagian akhir dari fraksi Decepticon: Megatron merasa dikhianati oleh Fallen, sehingga Megatron berusaha mengalahkan Fallen.

Penampakan dari Fallen

Monday, February 16, 2015

Aksi Teatrikal

Dalam rangka menolak Hari Valentine, LMI (Lembaga Manajemen Infaq) Surabaya mengadakan aksi di depan Kebun Binatang Surabaya (KBS). Aksi yang dilancarkan oleh LMI Surabaya adalah orasi, bagi-bagi sarung dan kerudung gratis, serta aksi teatrikal. Untuk aksi teatrikal, LMI Surabaya menyerahkannya kepada kami, santri-santri Mahad Ukhuwah Islamiyah (Mahad UI).

Yang bisa ikut aksi teatrikal hanya empat orang: aku, Mas Irul, Darori, dan Taufik. Lainnya kuliah. Dalam aksi teatrikal tersebut, Taufik bertugas sebagai narator, Mas Irul berperan sebagai laki-laki jahat, Darori sebagai laki-laki baik, dan aku sebagai... perempuan. Ya, sebenarnya aku tidak suka bermain peran sebagai perempuan. Alasan aku dipilih untuk memerankan karakter perempuan adalah karena aku tidak berjenggot. Padahal aku punya jenggot, meskipun hanya satu helai. Pada akhirnya, aku hanya bisa menerima semua ini dengan pasrah.


Mulanya, aku takut kalau harus dirias seperti perempuan. Ternyata dugaanku salah. Aku memakai topeng yang sudah didandani menor, dengan begini identitasku tidak akan terungkap. Lalu masalah datang dari rambut. Aku harus memiliki rambut yang panjang. Mas Irul punya ide dengan membuat rambut palsu dari tali rafia, dan warnanya biru. Bisa ditebak kalau aku memakainya, aku mirip Jenita Janet. Setelah meditasi semalam, aku memutuskan untuk memakai sarung. Jangan salah, aku pernah iseng meniru berhijab pakai sarung dari Youtube.

Sampai di depan KBS, kami langsung sembunyi di balik tanaman perdu, merias wajah tentunya. LMI Surabaya masih melakukan orasi ketika itu. Mas Irul dan Darori memutihkan wajah, menghitamkan mata, dan memerahkan seringainya. Sekarang mereka mirip Joker. Sedangkan Taufik memakai topeng setengah muka, tanpa riasan. Aku sendiri bertopeng menor, dan berkerudung merah kotak-kotak (baca: sarung). Kesan perempuan yang aku perankan sepertinya kurang, karena aku memakai sepatu yang biasa aku pakai kuliah, bukan sepatu wedges.

Saat yang dinanti telah tiba. Kami melakukan aksi teatrikal, ditonton oleh para pengguna jalan raya. Kami bergerak sesuai skenario. Aku sendiri kesulitan memerankan sosok perempuan. Ternyata sangat sulit menirukan bagaimana perempuan berjalan, tersipu malu, atau menerima hadiah. Aku berharap drama ini segera berakhir. Ada rasa malu, tetapi ada pula rasa bangga, karena kesempatan seperti ini memang jarang terjadi.


Thursday, February 5, 2015

Koala Kumal

Judul: Koala Kumal
Penulis: Raditya Dika
Penerbit: GagasMedia
Terbit: 2014, cetakan pertama


Koala Kumal adalah buku ketujuh yang ditulis oleh Raditya Dika, setelah Manusia Setengah Salmon. Raditya Dika masih menunjukkan eksistensinya dalam mengubah cerita tentang aktivitas sehari-hari menjadi cerita yang kocak, mengocok perut. Sama seperti buku-buku sebelumnya, cerita yang disajikan selain lucu, juga mampu membuat hati pembacanya tersentuh.

Cerita-cerita dalam Koala Kumal berkisah mengenai patah hati. Bab "Ada Jangwe di Kepalaku" menceritakan tentang persahabatan Dika dengan teman-temannya ketika masih SD. Namun hubungan persahabatan itu rusak hanya karena mainan jangwe. Bab "Lebih Seram dari Jurit Malam" mengisahkan hubungan antara Dika dengan juniornya di PMR, Lina, ketika masih SMP. Semenjak pelantikan PMR, Lina diam-diam jatuh hati kepada Dika. Sayangnya, Dika tidak menyadarinya, dan tidak sengaja membuat Lina patah hati.

Tulisan-tulisan komedi Raditya Dika memang seperti itu. Pembaca mampu dibuatnya tertawa, tersenyum, atau justru sedih. Mungkin dalam beberapa kasus, ada yang sampai menangis sejadi-jadinya karena cerita-cerita dalam Koala Kumal mirip dengan apa yang pernah dialami. Iya, bisa jadi.

Wednesday, February 4, 2015

Indeks Prestasi

Kuliah semester tiga sudah usai. Liburan semester juga sudah usai. IP?

Mungkin cukup berat kalau harus membahas indeks prestasi alias IP. Bagi mayoritas mahasiswa, IP adalah sesuatu yang tabu. IP, di satu sisi bisa jadi kebanggaan, di sisi lain bisa jadi bahan lawakan.

Kalau hasil IP sudah keluar, pihak pertama yang aku beritahu adalah orangtua. Pihak kedua? Tidak ada. Tapi sialnya, teman-teman satu jurusan bisa tahu berapa IP kita. Ya, itulah konsekuensi kalau kuliah di ITS. Berniat pindah ke universitas lain? Silakan.

Bagaimana respon orangtua terhadap IP anaknya? Kalau si anak mendapat IP 4,00 alias sempurna, orangtua akan bilang: "Selamat ya! Besok bapak kasih uang sebagai hadiah. Uangnya buat bayar SPP semester depan ya..." Kalau si anak mendapat IP kurang dari 4,00, orangtua akan bilang: "Hmm, tingkatkan lagi ya..." Kalau IP si anak 0,00, orangtua akan bilang: "Kamu kayaknya nggak cocok kuliah deh. Kamu mending buka warung aja, bapak akan kasih uang buat modalnya. Butuh modal berapa?"

Catatan: respon orangtua berbeda-beda, tergantung dari susunan genetik dan suasana hati.